Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang semuanya
perempuan. Sejak saya kecil Ibu saya membiasakan saya untuk selalu terbuka
kepada beliau. Ibu saya mendengarkan apapun yang saya ceritakan. Kami bisa
ngobrol ngalor ngidul selama berjam-jam. Apa saja, mulai dari bergosip,
mengomentari isu yang lagi hangat, ataupun hal penting seperti mengambil
keputusan. Ya ibu saya adalah partner curhat saya. Saya pun adalah partner
curhat Ibu saya.
sumber |
Dulu waktu kecil hal apapun langsung saya katakan pada Ibu
saya, tanpa filter tanpa tau waktu. Semakin kesini tentunya saya semakin
dewasa, semakin memilah-milah. Bukan berarti saya mulai merhasiakan sesuatu,
tapi saya sudah bisa memikirkan waktu yang pas untuk mengatakannya. Dulu waktu
kuliah saya sempat beberapa kali di opname karena berbagai penyakit. Orang tua
mana yang tidak khawatir mengetahui anaknya yang nun jauh disana masuk rumah
sakit. Kalau saya langsung bicara blak-blakan saya khawatir Ibu saya bertindak impulsif,
langsung berangkat saat itu juga misalnya. Karena Ibu saya orangnya cenderung
sulit berpikir jernih ketika panik. Maka saya pun mensiasati dengan ‘baru akan
bilang kalau ditanya.’ Dengan suara seceria mungkin seolah-olah saya ‘hanya
iseng’ saja tidur di rumah sakit. Saya baru akan benar-benar berterus terang
jika Ibu saya lah yang menyuruh saya pergi ke rumah sakit agar saya diopname
saja. Seperti ketika Ibu saya tau saya demam selama beberapa hari dan waktu itu
memang lagi wabah demam berdarah.
Namanya seorang ibu tentu sudah sangat banyak yang Ibu saya
berikan untuk saya. Namun sampai sekarang ada satu hal yang setiap mengingatnya
saya selalu ingin menangis. Waktu itu saya masih SMA. Saya ingin sekali
mengikuti semacam olimpiade yang diadakan universitas di provinsi lain. Karena jaraknya
cukup jauh, tentu biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Tapi ayah saya waktu itu
tidak mau membiayai, ntah apa alasannya. Mungkin Ibu saya kasihan sama saya,
Ibu saya pun melakukan hal yang kalau saya di posisi itu belum tentu saya mau
melakukannya. Ibu saya menjual cincin peninggalan almarhumah ibunya (Nenek
saya) sebagai tambahan biaya untuk saya. Nenek saya tidak meninggalkan banyak
benda yang sifatnya personal untuk Ibu saya. Tetapi Ibu saya rela menjual satu
dari yang sedikit itu untuk saya. Saya merasa sangat bersalah sekali. Untuk pertama
kali nya saya menangis karena tidak menang. Saya merasa sudah sangat
mengecewakan Ibu saya. Sampai sekarang itu menjadi salah satu penyesalah besar
saya. Meskipun saya bisa membelikan sepuluh cincin seperti itu, tapi bagi Ibu
saja tentu nilainya tidak sama.
Saya sudah tinggal jauh dari keluarga sejak lulus SMP. Meskipun saya jarang bertemu Ibu saya, namun kedekatan kami sama sekali tidak berkurang. Berbagai cara kami lakukan untuk ‘mengganti’momen yang hilang tersebut. Setiap hari kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk ngobrol di telepon. Kadang saya dan Ibu saya juga video call. Saya sangat menunggu-nunggu momen pulang ke rumah orang tua saya agar kami bisa quality time secara fisik. Setiap kali di rumah, saya selalu menyempatkan tidur berdua dengan Ibu saya. Kalau sudah begitu, kami bisa ngobrol hingga larut malam. Selain itu saya juga suka sekali minta disuapkan sama Ibu saya. Bukan hanya sesuap dua suap melainkan sepiring dan tak jarang saya sampai nambah. Perlakuan seperti itu membuat saya merasa selalu masih kecil. Karena merasa dewasa terkadang membuat saya merasa semakin jauh dari keluarga.
No comments:
Post a Comment