Aktivitas sehari-hari mengharuskan saya “berkeliling”
Jakarta setiap harinya. Dari tempat tinggal di Jakarta Timur, saya bisa
berkegiatan di Jakarta Barat, lanjut ke daerah selatan dan di akhiri di Jakarta
Pusat. Kegiatan seperti itu tidak berlangsung seharian, melainkan hanya enam
hingga tujuh jam saja perharinya. Sudah termasuk waktu tempuh untuk mencapai
lokasi dengan kendaraan umum. Tentu saya nggak mau dong waktu yang sudah
sedikit itu malah dihabiskan dengan lama di jalan. Jadi saya punya “moda
transportasi favorit” untuk bepergian.
Angkutan umum paling saya suka itu sebenarnya kereta atau commuter line. Alasan pertama tentu saja
bebas macet jadi mempersingkat waktu tempuh. Selain itu harga tiketnya yang
terjangkau dan relatif on time. Walaupun
kalau malam kereta ini sering lama karena tertahan di berbagai tempat. Biasanya
karena menunggu untuk didahului oleh kereta jarak jauh. Seperti kita ketahui,
sore hingga menjelang tengah malam adalah waktu dimana banyak sekali kereta
jarak jauh yang berangkat. Apalagi commuter line arah Bekasi, bisa tertahan
cukup lama karena menunggu didahului berkali-kali. Karena memang searah dengan
kereta jarak jauh yang keluar masuk Jakarta. Meski begitu saya tetap mejadikan
commuter line sebagai favorit. Tertahan 30 menit di stasiun Cipinang rasanya
masih lebih mending dibandingkan dengan macetnya Jalan I Gusti Ngurah Rai di
waktu yang sama. Sayangnya rutinitas saya sehari hari kebanyakan jauh dari
stasiun. Sehingga naik commuter line
tidak efisien untuk saya. Tapi tetap, prinsip saya jika masih bisa naik kereta
saya akan naik kereta.
bukti bahwa saya sering menggunakan commuter line |
ini gak boleh ketinggalan kalau mau naik Transjakarta. |
Saya paling merasa antara nyesek bercampur geram kalau yang
masuk jalur itu adalah mobil ambulans sementara di jalur biasa tidak sedang
macet. Bagaimana tidak, masuk jalur khusus justru akan memperlama perjalanan
ambulans tersebut. Seperti yang kita tau, jalur Transjakarta itu ngepas selebar
bisnya sendiri. Ya jelas saja bisnya tidak akan bisa “disuruh minggir” dulu
walaupun yang mau lewat adalah ambulans. Selain itu bis Transjakarta banyak
berhenti untuk naik turun penumpang di setiap halte. Hal ini menyebabkan
ambulans tadi terpaksa ikut berhenti juga.
Alternatif lain yang saya juga suka tentunya ojek online. Pemesanannya praktis dan dapat menjangkau
setiap sudut. Tidak seperti commuter line atau Transjakarta yang punya tempat
khusus untuk naik turun penumpang. Gampangnya ojek online ini dapat mengantarkan saya dari pintu ke pintu. Kenapa yang
online? Karena saya tidak bisa tawar
menawar. Ojek online memiliki skema tarif
yang jelas. Selain itu, naik motor kan memang salah satu cara ampuh menembus
kemacetan. Bisa nyelip-nyelip atau lewat jalan tikus. Kelemahannya adalah saya
tidak kuat naik motor terlalu lama, pinggang ke bawah rasanya kaku semua. Selain
itu namanya juga motor, susah kalau hari sedang hujan.
"koleksi" aplikasi ojek online di ponsel saya |
Jadi sehari-hari saya kesana kemari dengan mengkombinasikan
moda-moda yang tadi saya sebutkan. Untuk jarak yang relatif jauh biasanya saya akan naik Transjakarta atau commuter line terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan
dengan ojek on line. Untuk jarak yang
tidak terlalu jauh saya memilih ojek on
line. Tapi kalau sedang diburu waktu, jauh dekat saya hajar saja pakai ojek
on line.
No comments:
Post a Comment