Monday, February 27, 2017

Tips Ibu Saya : "budgeting"

Seperti yang saya ceritakan di post sebelumnya, saya sudah tidak tinggal bersama orang tua selama hampir sembilan tahun. Oleh karena itu, saya dituntut untuk belajar mandiri dalam banyak hal. Salah satunya adalah belajar bagaimana mengelola keuangan agar selalu stabil.

Ibu saya memberitahu saya sebuah tips yang sudah beliau terapkan  selama puluhan tahun sejak tinggal terpisah dengan orang tuanya. Trik ini pun saya rasa juga sudah banyak diketahui dan digunakan orang. Tapi saya benar-benar baru mengetahuinya dari Ibu saya. Berhubung Ibu saya bukanlah seorang financial planner dan bukan pula seorang yang ahli di bidang keuangan, jadi jangan heran kalau tipsnya sederhana saja.

sumber

Kata Ibu saya, salah satu cara menjaga kestabilan keuangan adalah dengan melakukan budgeting. Menetapkan pos anggaran ini dilakukan ketika baru saja mendapat pemasukan. Begitu dapat duit, segera sisihkan untuk pengeluaran yang sifatnya tetap. Misalnya untuk bayar kosan dan tagihan-tagihan rutin. Sisanya masih banyak bukan? Iya memang banyak, tapi untuk mebiayai kebutuhan yang juga besar yaitu operasional. Biaya operasional alias kebutuhan sehari-hari ini dianggarkan perminggu atau perhari. Biaya operasional ini meliputi anggaran makan dan transportasi. Kalau saya melakukannya perminggu. Kasarnya setiap awal pekan, saya akan menarik duit untuk biaya hidup seminggu ke depan.

Sesekali mau makan di tempar fancy, atau pengen jajan sesuatu yang sifarnya hanya untuk senang-senang, tetap bisa kok. Hiburan ini penting lho, karena diri sendiri pun butuh dibahagiakan. Kalau saya memang menganggarkan dana untuk hiburan ini dari awal, tidak banyak secukupnya saja. Tujuannya tentu saja biar terkontrol berapa banyak yang telah saya habiskan untuk hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. Jangan sampai “belanja-belanja cantik” ini bikin saya tidak makan di akhir bulan.

Ketika saya menginginkan sesuatu yang melebihi budget, maka saya akan menabung. Bisa dengan mengumpulkan anggaran hiburan selama beberapa bulan. Bisa juga dengan mengumpulkan jatah mingguan yang tidak habis. Misalnya tiba-tiba ditraktir makan atau ditebengin ke tempat tujuan, lumayan kan hemat pengeluaran. Nah aggaran yang tidak jadi terpakai itu bisa banget dikumpulkan untuk membeli hal yang diinginkan tadi.  Selain tidak mengganggu anggaran lain, cara seperti ini ampuh mengendalikan sifat impulsif saya lho.

Tujuan dari budgeting tadi tentu saja untuk menjaga kestabilan taraf hidup. Jangan sampai foya-foya di awal bulan tetapi di tanggal tua kita kelaparan. Untuk menghindari makan mewah di awal tetapi akhir bulan bisanya cuma makan mie instan. Intinya, biar gak kenal yang namanya akhir bulan. Tentunya, taraf hidup yang stabil, stress pun berkurang. Setidaknya kita tidak lagi pusing karena gak punya duit.



Saturday, February 25, 2017

Rumah Saya

Lulus SMP saya melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah berasrama di kota lain. Selepas SMA saya pun merantau lebih jauh lagi, kali ini beda pulau. Hingga saat ini, terhitung sudah sekitar sembilan tahun alamat domisili saya berbeda dengan orang tua dan adik saya.

Waktu SMA dulu, saya bertemu keluarga seminggu sekali. Dalam sebulan, saya mendapatkan kesempatan untuk pulang ke rumah sebanyak satu kali. Sejak kuliah di Bandung, tentu saja frekuensi pulang saya jauh berkurang. Saya biasa mudik enam bulan sekali, ketika lebaran dan libur akhir tahun. Enaknya, durasi libur ketika kuliah jauh lebih lama dibanding liburan anak sekolah. Saya menghabiskan waktu di rumah selama hampir tiga bulan untuk liburan semester genap yang bertepatan dengan Idul Fitri, serta sebulan pada liburan sementer ganjil yang bertepatan dengan akhir tahun.

Saya menggunakan waktu liburan untuk quality time bersama keluarga. Sebagai “tebusan” ketidakhadiran saya selama berbulan-bulan di rumah. Biasanya saya mengisi waktu luang dengan memasak dan membuat kue. Kadang-kadang kami juga pergi keluar sekedar untuk makan malam. Dulu, dalam seminggu di rumah, saya pasti meluangkan untuk bertemu teman lama. Sekarang tidak lagi, waktu liburan saya full di rumah. Kalaupun pergi pasti bersama keluarga.

Saya sangat menikmati momen-momen dua kali setahun tersebut. Salah satu hal favorit saya adalah “menguping” kedua adik saya yang saling curhat sebelum tidur. Biasalah remaja ababil yang gampang galau. Saya juga suka tidur bersama Ibu saya dan sangat menanti-nanti sesi pillow talk yang bisa berlangsung hingga dini hari. Saya juga sangat menikmati saat-saat menunggu Ibu, Bapak, dan adik-adik saya kembali dari aktivitas masing-masing.

Meskipun sembilan tahun sudah saya tidak tinggal bersama keluarga, zona nyaman saya tetap belum berubah. Rumah orangtua saya tetap menjadi pelabuhan utama saya. Cinta positif mereka lah yang menggerakkan ketika jenuh dan menopang di kala rapuh. Mereka tetap memiliki pengaruh besar dalam hidup saya.

Orang tua saya ketika ultah perak pernikahan mereka


Seiring waktu, sudah seharusnya kita semakin dewasa. Akan tiba giliran kita untuk membangun keluarga.Satu hal yang saya tanamkan pada diri sendiri, rumah saya tidak akan berganti melainkan bertambah. 

Thursday, February 23, 2017

Kaoskaki



Di postingan kali ini, saya ingin bercerita tentang Kaoskaki. Kalau Boboy adalah anggota keluarga saya, Kaoskaki ini “bersaudara” nya sama Juli. Nama Kaoskaki diambil dari motif tubuhnya yang abu-abu tetapi putih di bagian keempat kakinya, seperti sedang memakai kaos kaki. Btw, dia sekarang sudah ngeh lho, kalau dipanggil,”Kaoskaki”, dia noleh.




Saya lupa kapan pertama kali saya dan Juli kenalan sama Kaoskaki. Seingat saya, awal Juli pindah ke kosan yang sekarang, sudah ada dua kucing yang telah terlebih dahulu menghuni kosan tersebut. Seekor jantan belang hitam putih dan seekor kucing betina belang tiga. Ntah bagaimana, Kaoskaki datang kemudian dan “mengusir” si belang hitam putih itu. Sejak saat itu, kosan Juli menjadi “daerah kekuasaannya” Kaoskaki. Sedangkan si hitam putih terpaksa mencari “wilayah” baru. Kadang-kadang kami masih bertemu si hitam putih di daerah sekitar kosan.

Saya pun tidak ingat bagaimana awalnya Juli dan Kaoskaki bersahabat. Oh ya, Kaoskaki ini stray dan tergolong galak sesama kucing. Hampir selalu ada luka hasil perkelahian di tubuhnya. Dulu Juli sering membelikan ikan goreng di warteg untuk Kaoskaki. Kadang-kadang juga fried chicken ala-ala. Ya mungkin karena ini lah Kaoskaki bisa takluk sama Juli. Sejak saat itu, Kaoskaki hampir selalu ada setiap pagi saat Juli akan berangkat kerja dan malam ketika Juli pulang kerja. Karena sudah “akrab” kami pun membelikan dry food untuk Kaoskaki. Makin rutin lah dia berkunjung ke kamar Juli.



Hal yang menarik dari kaos kaki, meskipun dia gahar, tetapi raut wajahnya memelas. Kata Juli, setiap kali dia ada di depan kamar lalu Juli menutup pintu, maka dia akan duduk dan menatap pintu dengan tatapan mengiba. Entah benar-benar sedang memelas atau memang “default” matanya yang begitu. Selain itu, ntah kenapa Kaoskaki ini lebih nurut sama saya daripada sama Juli. Padahal Juli yang memberinya makan setiap hari. Kalau kata Ibu saya, “Kaoskkai kan jantan, jadi dia nurutnya sama perempuan.” Bentuk kaki belakangnya yang (maaf) agak ngangkang membuat gaya berjalannya Kaoskaki jadi agak “lain.” Hanya dengan melihat gerak geriknya, dari jauh pun saya bisa tau kalau itu Kaoskaki.

Entah karena gendut atau apa, Kaoskaki ini kurang lincah. Mungkin ini lah penyebab luka-luka di tubuhnya itu, susah menghindari  serangan lawan. Kalau misalnya bertemu di jalan, lalu kami mengajaknya pulang. Maka dia akan mengekor dengan berjalan santai sambil mampir-mampir untuk mengendus apapun yang dilihatnya di jalan. Bahkan kadang diselingi dengan garuk-garuk atau peregangan terlebih dahulu. Kaoskaki memang sok jual mahal.


Karena beberapa hal Juli memutuskan untuk pindah ke kamar sebelah yang belum lama kosong. Kata Juli, selesai dia bersih-bersih kamar barunya, Kaoskaki masuk dan tidur di pojok kamar tersebut. Keeseokan malamnya, ketika Juli sedang memindahkan barang-barang, Kaoskaki hanya duduk di depan kamar mengamati dengan tatapan sedih. Hingga dua minggu setelahnya, setiap Juli akan berangkat kerja Kaoskaki selalu berusaha menghalangi. Biasanya dengan berguling-guling di depan kaki Juli. Mungkin dia mulai takut ditinggal.




Suatu hari saya ke kosan Juli untuk mengawasi teknisi yang memasang AC. Saya duduk di lesehan di depan kamar Juli. Tiba-tiba Kaoskaki datang dan menggosokkan tubuhnya ke kaki saya. Saya langsung terenyuh dan teringat Boboy. Saya pun membalas dengan mengelus-elus punggungnya. Saya kaget dengan tingkah Kaoskaki selanjutnya. Dia tidur terlentang di sebelah saya dengan kaki menyandar ke kaki saya. Berbeda dengan biasanya, kali itu saya melihat wajah Kaoskaki begitu bahagia. Mungkin seumur hidupnya baru kali ini dia merasa disayangi. Tidak lupa saya mengabadikan momen langka tersebut dan menunjukkan kepada Juli yang sedang keluar.



Kucing liar dan galak sekalipun kalau disayangi dia pun bisa bertingkah laku manis dan menunjukkan sayangnya kembali kepada kita J

Wednesday, February 22, 2017

Self reminder : Ingatlah cita-citamu

Catatan pendek ini adalah self reminder. Bahwa solusi pertama dari "lelah" yang kita rasakan ada pada diri sendiri. Jika kita jeli, inspirasi pun ada pada hal-hal sederhana.

sumber

Dulu saya takjub sekaligus heran mengapa banyak sekali teman-teman saya yang menghiasi dinding kamar atau meja kerjanya dengan tempelan kertas warna-warna. Bukan sembarang kertas, post it beraneka warna itu memuat tulisan-tulisan kecil. Kebanyakan mengenai target-target mereka. Baik jangka pendek atau pun yang masih agak lama. Ada yang langsung menempelkannya pada dinding. Beberapa mengumpulkannya dalam sebuah whiteboard.

Belakangan, bertahun-tahun kemudian saya baru paham. Menuliskan dan menempelkannya di tempat yang selalu kelihatan. Sadar atau tidak, setiap melihatnya otomatis kita akan membacanya. Setidaknya, pikiran akan mengulangi kalimat-kalimat itu sekali lagi. Berulang kali setiap warna-warni kertasnya tertangkap oleh mata.

Salah satu quotes populer berkata, “ setiap kamu merasa lelah, ingatlah tujuanmu berada di sini.” Kini saya menemukan benang merahnya. Tempelan-tempelan dinding tadi adalah salah satu cara mudah untuk membuat kita selalu ingat. Mengingatkan kita akan target-target yang ingin dicapai. Mengingatkan kita akan “tujuan berada di sini.” Saya jadi ingat. Dulu saya pernah membuat tempelan di dinding. Isinya bukan target ataupun quotes motivasi. Melainkan kumpulan rumus fisika dan matematika. Tujuannya tentu saja agar setiap saya melihatnya, saya akan mengulangi rumus-rumus itu sekali lagi. Berulang-ulang hingga saya hapal, bahkan sampai sekarang.

Saya menjadi terinspirasi. Mengapa saya tidak menerapkannya kembali. Menuliskan target-target saya dalam lembar post it. Lalu menempelkan ke tempat dimana mata saya biasa tertuju. Pengulangan itu akan menjadi sugesti positif untuk diri sendiri. Agar setiap melihatnya, saya akan mengulanginya sekali lagi. Agar setiap saya jenuh, ada yang “menyadarkan” saya. Bahwa apa yang terjadi hari ini akan mempengaruhi seperti apa saya esok lusa dan seterusnya. Setiap saya kehilangan fokus, ada yang “menarik” saya kembali ke “jalan yang benar”. Bahwa saya sedang meniti langkah menuju cita-cita saya. Bahwa saya sedang menyusun bata untuk “rumah masa depan saya.” Agar di suatu hari kerja yang melelahkan, hal pertama yang saya “temui” begitu masuk kamar adalah “mimpi-mimpi” saya. Agar setiap saya membacanya kembali, dapat menjadi doa yang baik J

Thursday, February 16, 2017

How I move around Jakarta everyday

Aktivitas sehari-hari mengharuskan saya “berkeliling” Jakarta setiap harinya. Dari tempat tinggal di Jakarta Timur, saya bisa berkegiatan di Jakarta Barat, lanjut ke daerah selatan dan di akhiri di Jakarta Pusat. Kegiatan seperti itu tidak berlangsung seharian, melainkan hanya enam hingga tujuh jam saja perharinya. Sudah termasuk waktu tempuh untuk mencapai lokasi dengan kendaraan umum. Tentu saya nggak mau dong waktu yang sudah sedikit itu malah dihabiskan dengan lama di jalan. Jadi saya punya “moda transportasi favorit” untuk bepergian.

Angkutan umum paling saya suka itu sebenarnya kereta atau commuter line. Alasan pertama tentu saja bebas macet jadi mempersingkat waktu tempuh. Selain itu harga tiketnya yang terjangkau dan relatif on time. Walaupun kalau malam kereta ini sering lama karena tertahan di berbagai tempat. Biasanya karena menunggu untuk didahului oleh kereta jarak jauh. Seperti kita ketahui, sore hingga menjelang tengah malam adalah waktu dimana banyak sekali kereta jarak jauh yang berangkat. Apalagi commuter line arah Bekasi, bisa tertahan cukup lama karena menunggu didahului berkali-kali. Karena memang searah dengan kereta jarak jauh yang keluar masuk Jakarta. Meski begitu saya tetap mejadikan commuter line sebagai favorit. Tertahan 30 menit di stasiun Cipinang rasanya masih lebih mending dibandingkan dengan macetnya Jalan I Gusti Ngurah Rai di waktu yang sama. Sayangnya rutinitas saya sehari hari kebanyakan jauh dari stasiun. Sehingga naik commuter line tidak efisien untuk saya. Tapi tetap, prinsip saya jika masih bisa naik kereta saya akan naik kereta.

bukti bahwa saya sering menggunakan commuter line

 Selain kereta, moda transportasi yang saya suka adalah Transjakarta. Alasan yang utama adalah aman dan pengemudinya tertib. Jujur saya paling ngeri kalau ada pengemudi angkutan umum yang ugal-ugalan apalagi sampai menerobos perlintasan kereta padahal palang pintu sudah ditutup. Tarifnya juga terjangkau, 3500 rupiah jauh dekat sama saja. Di setiap bis terdapat nama trayek yang dilayaninya, misalnya TU Gas- Grogol. Ini sangat membantu karena tidak perlu menghapal nomer. Sayangnya Transjakarta ini tidak selalu bebas macet. Baik untuk rute baru yang memang tidak melalui jalur khusus maupun koridor-koridor lama. Penyebabnya bisa dari banyaknya kendaraan lain yang memasuki jalur Transjakarta sehingga jalur yang harusnya khusus itupun jadi ikutan macet.


ini gak boleh ketinggalan kalau mau naik Transjakarta. 

Saya paling merasa antara nyesek bercampur geram kalau yang masuk jalur itu adalah mobil ambulans sementara di jalur biasa tidak sedang macet. Bagaimana tidak, masuk jalur khusus justru akan memperlama perjalanan ambulans tersebut. Seperti yang kita tau, jalur Transjakarta itu ngepas selebar bisnya sendiri. Ya jelas saja bisnya tidak akan bisa “disuruh minggir” dulu walaupun yang mau lewat adalah ambulans. Selain itu bis Transjakarta banyak berhenti untuk naik turun penumpang di setiap halte. Hal ini menyebabkan ambulans tadi terpaksa ikut berhenti juga.

Alternatif lain yang saya juga suka tentunya ojek online. Pemesanannya praktis dan dapat menjangkau setiap sudut. Tidak seperti commuter line atau Transjakarta yang punya tempat khusus untuk naik turun penumpang. Gampangnya ojek online ini dapat mengantarkan saya dari pintu ke pintu. Kenapa yang online? Karena saya tidak bisa tawar menawar. Ojek online memiliki skema tarif yang jelas. Selain itu, naik motor kan memang salah satu cara ampuh menembus kemacetan. Bisa nyelip-nyelip atau lewat jalan tikus. Kelemahannya adalah saya tidak kuat naik motor terlalu lama, pinggang ke bawah rasanya kaku semua. Selain itu namanya juga motor, susah kalau hari sedang hujan.

"koleksi" aplikasi ojek online di ponsel saya


Jadi sehari-hari saya kesana kemari dengan mengkombinasikan moda-moda yang tadi saya sebutkan. Untuk jarak yang relatif jauh  biasanya saya akan naik Transjakarta atau commuter line terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan dengan ojek on line. Untuk jarak yang tidak terlalu jauh saya memilih ojek on line. Tapi kalau sedang diburu waktu, jauh dekat saya hajar saja pakai ojek on line.

Tuesday, February 14, 2017

[review] Warung Spesial Sambal "SS"

Kalau ditanya apakah saya suka pedas. Jawabannya tentu saja Ya! Tapi ada kriterianya. Saya cenderung suka pedasnya cabe merah ketimbang pedasnya cabe hijau atau rawit. Selain itu, saya lebih memilih menambahkan sambel belakangan daripada masakan yang bumbunya memang dibuat pedas. Alhasil saya memilih tempat makan pun berdasarkan cita rasa pedas yang ditawarkan.

Salah satu tempat yang saya tuju kalau lagi pengen makan pedas adalah “Spesial Sambal” atau yang lebih dikenal dengan “SS”. Pertama kali kenal SS ini ketika saya liburan ke Jogja pada 2012 yang lalu. Ketika itu saya menginap di rumah teman kuliah saya di daerah Condong Catur. Malamnya teman saya mengajak saya makan di SS yang terletak di ring road sekalian janjian dengan teman lain. Saya langsung suka sejak pertama kali makan di sana.

Dari sekian banyak menu yang ditawarkan, pesanan saya apabila makan di SS cenderung itu-itu saja. Untuk lauk biasanya saya memilih antara ayam goring dada, jambal asin atau telur dadar. Sayurnya biasanya cah kangkung, cah toge atau pecel. Ada satu menu yang tidak pernah ketinggalan yaitu sambel tahu. Setiap makan di SS saya selalu memilih sambel tahu. Sejak pertama kali makan di SS di tahun 2012 hingga sekarang nyaris lima tahun kemudian. Karena saya tidak pernah makan di SS sendiri, maka pesanan sambal pasti tidak cuma satu jadi bisa saling sharing. Saya juga suka icip-icip sambel lain seperti sambel kecap, tomat segar, manga muda dll. Tapi di lidah saya, belum ada yang seenak sambel tahu. Maka jika saya yang memesan, saya selalu memilih sambel tahu.


Sambel tahu favorit saya

Untuk sambel tahu sendiri, saya tentu sudah pernah mencoba di tempat lain. Tapi sejauh ini saya belum menemukan yang seenak sambel tahunya SS.

Karena ketagihan sejak pertama kali makan di sana, maka setiap ada yang mengajak saya makan,  saya akan menawarkan untuk makan di SS saja. Bahkan saya tidak keberatan makan di SS setiap hari. Teman-teman saya di Jogja sampai hapal. Alhasil sepertinya saya sudah pernah makan di hampir seluruh cabang SS di seluruh penjuru Jogja. Mulai dari dua cabang yang berdekatan di ring road utara, hingga cabang SS yang ada di Jogja City Mall. Tapi cabang yang paling sering saya datangi adalah yang di Monjali. Pertimbangannya adalah jarak yang relatif dekat dan rasa yang termasuk salah satu yang paling enak. Ya, dari mencoba makan di berbagai cabang, saya jadi menyimpulkan di setiap cabang rasanya tidak persis sama.

salah satu cabang ss (sumber)

Suatu ketika saya ke Semarang, teman saya bilang di sini ada juga kok. Saya pun sempat makan di dua cabang SS di Semarang. Salah satunya adalah cabang yang di Tembalang. Berbeda dengan di Semarang yang memang diberi tahu oleh teman saya, makan di SS Cirebon benar-benar di luar dugaan. Saya dan teman saya “menemukan” cabangnya secara tidak sengaja. Saya paling senang tentu saja ketika teman saya yang tinggal di Jatinangor mengajak saya makan di SS. Selain karena saya memang sangat suka, saya bahagia mengetahui di Jatinangor ada SS. Jadi  bisa makan di SS tidak hanya ketika di Jogja atau Semarang saja. Alhasil saya dan Juli pernah sengaja ke Jatinangor hanya untuk makan di SS.

Saya sudah lama tau kalau di Depok ada cabang SS juga. Jadi setelah pindah ke Jakarta, saya mengajak Juli untuk ke Depok. Waktu itu Juli juga pengen melihat-lihat kampus UI, belum pernah katanya. Ya  sudah sekalian saja. Sejak saat itu setiap ke Depok saya selalu menyempatkan makan di SS.

Suatu siang secara tidak sengaja saya melewati sebuah cabang SS di Tanjung Duren. Karena waktu itu saya naik ojek, jadi saya tidak ingat jalannya. Saya dan Juli pun googling karena ingin ke sana hari Minggunya. Pertama kali saya sampai di SS Tanjung Duren, saya sudah merasa ini bukan cabang SS yang saya lewati ketika itu. Setelah baca-baca buku menu saya baru tau, ternyata cabang SS di Tanjung Duren ada dua.

Menu yang biasa kami pesan

Untuk harga sendiri, menurut saya tergolong standar. Sambal di banderol mulai dari Rp 1500 hingga Rp 5000. Lauk paling mahal sepertinya adalah iga seharga Rp 20.000. Harga ini berbeda untuk setiap kota. Paling murah adalah harga di Jogja. Sekali makan saya hanya membayar sekitar 50 ribuan untuk berdua  kalau di Jogja. Di Jakarta sekali makan di SS kami menghabiskan sekitar 70 ribuan berdua. Di Jogja, kita diperbolehkan nambah nasi sepuasnya tanpa biaya tambahan. Sedangkan di kota lain nasi dihitung perpiring.

Karena ketagihan, hampir setiap minggu saya dan Juli makan di SS Tanjung Duren. Meskipun untuk mengantri hingga pesanan datang menghabiskan hampir satu jam sendiri.

Gak apa-apalah sekali-sekali J



Friday, February 10, 2017

Melindungi Diri dan Menghargai Karya Orang Lain

Saya bukanlah seseorang yang begitu terkenal yang kata-katanya sampai dijadikan rujukan oleh orang lain. Tapi tentu saja saya saya pernah bahkan sering menulis dengan merujuk pendapat orang lain. Satu hal yang saya tanamkan pada diri sendiri untuk tidak menjiplak hasil karya orang lain. Salah satu cara yaitu dengan menuliskan sumber ketika mengutip sesuatu. 

sumber

Dengan menuliskan dari mana pikiran itu diperoleh secara tidak langsung kita sudah menghargai si empunya ide. Walaupun mungkin kita tidak tau siapa yang pertama kali mencetuskan kata-kata tersebut, tetapi setidaknya kita sudah melindungi diri dari pikiran negatif orang lain. Mungkin kita sama sekali tidak bermaksud mengklaim pikiran itu sebagai ide kita. Tetapi bukankah ada banyak sekali persepsi di dunia ini. Jika yang membaca adalah penulis aslinya. Boleh jadi dia akan berpikir kita mencontek karyanya. Sebagai pemilik karya tersebut, dia berhak menuntut kita. Hak tersebut pun dilindungi undang-undang Hak Cipta dan Hak Kekayaan Intelektual. Jika yang membaca adalah orang yang sebelumnya telah mengetahui ide tersebut dari sumber aslinya. Tidak menutup kemungkinan kita akan dicap sebagai plagiat yang sedikit banyak akan mempengaruhi image sebagai penulis. Sama halnya ketika kutipan tanpa sumber tersebut dikutip kembali dikutip orang lain. Celakanya pengutip berikutnya menganggap itu adalah buah pikiran kita dan ini mencantumkan sebagai sumbernya. Kalau begini ceritanya kita bisa dianggap mencuri karya orang lain.


sumber


Setiap penulis bertanggung jawab dengan karya yang dihasilkannya. Apabila ternyata saduran tadi salah atau melanggar norma tertentu, dengan mencantumkan sumber kita akan melindungi diri dari ikut disalahkan. Bayangkan saja jika kita tidak mencantumkan siapa pemilik sesungguhnya ide tersebut, bisa saja kita yang dituntut dan terpaksa menanggung sanksi atas pelanggaran tersebut.
Tulisan-tulisan formal bisa mengutip dengan merujuk kepada cara-cara penulisan yang tercantum di EYD. Lalu bagaimana dengan tulisan-tulisan ‘santai’? Bisa dengan menuliskan misalnya, seperti kata pepatah, atau ada peribahasa yang mengatakan dst. Paling tidak kita bisa menuliskan “Anonymous,” artinya kita mengakui bahwa itu adalah pikiran orang lain, walaupun tidak tahu siapa orangnya.

Menuliskan sumber sejatinya bertujuan untuk melindungi diri sendiri. Agar ketika kutipan tersebut benar kita tidak mengambil hak orang lain. Apabila kutipan tersebut salah kitapun tidak menanggung kewajiban orang lain. 


Wednesday, February 8, 2017

Februari, Nadinari dan #30dayswrittingchallange

Resolusi 2017 sudah pernah saya ceritakan di postingan ini. Fokus mencari kenyamanan untuk diri sendiri cukup sampai di 2016 saja. Tahun 2017 ini, adalah waktu untuk mulai mewujudkan target jangka panjang saya.  Agar target jangka panjang tercapai, terebih dahulu saya harus menyelesaikan target-target kecil yang berkaitan satu sama lain. Desember hingga Januari kemarin saya sudah menyusun hal-hal yang akan saya lakukan untuk mencapai cita-cita saya itu.  Hal pertama adalah mengatur pola tidur dan sudah berjalan. Meskipun terlihat sepele, tetapi hal ini berpengaruh besar bagi saya. Bangun lebih pagi membuat mood saya hari itu lebih baik. Saya jadi lebih bahagia dan tentunya produktif.

Rencana lainnya adalah belajar menulis. Saya memang berencana akan mulai di 2017 ini hanya saja belum menetapkan waktunya secara spesifik. Hingga pada akhir bulan kemarin secara tidak sengaja saya menemukan post tentang #30dayswritingchallenge di timeline Facebook.  Saya sempat ragu mau daftar karena challenge itu dimulai dua hari kemudian. Tetapi di sisi lain saya juga merasa ini adalah kesempatan bagus dan tidak selalu ada. Meskipun berawal dari ketidaksengajaan, tetapi saya percaya tidak ada yang kebetulan. Saya memang sudah digariskan untuk segera mulai belajar menulis pada Februari 2017.


Banyak sekali sisi positifnya. Pertama, saya ‘dipaksa’ untuk tidak menunda-nunda sesuatu. Target saya adalah belajar menulis,bukan menjadi penulis ataupun bisa menulis. Challenge ini adalah permulaan yang baik dalam proses belajar saya. Jadi boleh dong kalau saya menganggap satu target saya tercapai, yaitu belajar menulis. Tercapainya satu target tadi tentu membuat saya bahagia. Saya juga seperti di boost untuk mewujudkan target-target lainnya. 

Sebelumnya saya memang sudah berencana membuat blog. Tempat saya mendokumentasikan perjalanan menulis dan sebagai portofolio. Saya pun membuat blog ini pada 1 Februari 2017, di hari pertama saya wajib menyetorkan tulisan. Meskipun terkesan buru-buru, tetapi saya sudah memikirkan konsepnya sejak lama. Maka saya tidak akan ambil pusing jika ada yang bilang saya harus memilih untu menulis dengan bahasa baku atau tidak sama sekali. Karena memang begini lah konsepnya. Blog ini adalah sarana saya untuk ‘ngobrol’ dengan pembaca. Bukankah dalam bertutur sehari-hari bahasa kita pun gak sepenuhnya baku atau non baku?

Saya sepenuhnya paham, pembelajaran perlu dilakukan secara berkesinambung. Maka blog Nadinari ini memang saya rencanakan untuk jangka panjang. Tapi sampai kapanpun tentu saya akan ingat, Nadinari dibuat tepat di hari  #30dayswritingchallenge jilid 4 dimulai.

Saya bersyukur sekali, saya dapat mewujudkan target saya lebih awal melalui #30dayswritingchallenge Selain itu, Februari saya menjadi lebih produktif. Saya mulai terbiasa menulis setiap hari. Meskipun saya tidak selalu dalam kondisi good mood, tetapi saya mulai belajar mengendalikannya. Sehingga saya bisa istiqomah dalam belajar dan berkarya.


Ketidaksengajaan ini menjadi permulaan yang bagus untuk saya J

sumber

Tuesday, February 7, 2017

My Mom and Me

Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Sejak saya kecil Ibu saya membiasakan saya untuk selalu terbuka kepada beliau. Ibu saya mendengarkan apapun yang saya ceritakan. Kami bisa ngobrol ngalor ngidul selama berjam-jam. Apa saja, mulai dari bergosip, mengomentari isu yang lagi hangat, ataupun hal penting seperti mengambil keputusan. Ya ibu saya adalah partner curhat saya. Saya pun adalah partner curhat Ibu saya.

sumber

Dulu waktu kecil hal apapun langsung saya katakan pada Ibu saya, tanpa filter tanpa tau waktu. Semakin kesini tentunya saya semakin dewasa, semakin memilah-milah. Bukan berarti saya mulai merhasiakan sesuatu, tapi saya sudah bisa memikirkan waktu yang pas untuk mengatakannya. Dulu waktu kuliah saya sempat beberapa kali di opname karena berbagai penyakit. Orang tua mana yang tidak khawatir mengetahui anaknya yang nun jauh disana masuk rumah sakit. Kalau saya langsung bicara blak-blakan saya khawatir Ibu saya bertindak impulsif, langsung berangkat saat itu juga misalnya. Karena Ibu saya orangnya cenderung sulit berpikir jernih ketika panik. Maka saya pun mensiasati dengan ‘baru akan bilang kalau ditanya.’ Dengan suara seceria mungkin seolah-olah saya ‘hanya iseng’ saja tidur di rumah sakit. Saya baru akan benar-benar berterus terang jika Ibu saya lah yang menyuruh saya pergi ke rumah sakit agar saya diopname saja. Seperti ketika Ibu saya tau saya demam selama beberapa hari dan waktu itu memang lagi wabah demam berdarah.

Namanya seorang ibu tentu sudah sangat banyak yang Ibu saya berikan untuk saya. Namun sampai sekarang ada satu hal yang setiap mengingatnya saya selalu ingin menangis. Waktu itu saya masih SMA. Saya ingin sekali mengikuti semacam olimpiade yang diadakan universitas di provinsi lain. Karena jaraknya cukup jauh, tentu biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Tapi ayah saya waktu itu tidak mau membiayai, ntah apa alasannya. Mungkin Ibu saya kasihan sama saya, Ibu saya pun melakukan hal yang kalau saya di posisi itu belum tentu saya mau melakukannya. Ibu saya menjual cincin peninggalan almarhumah ibunya (Nenek saya) sebagai tambahan biaya untuk saya. Nenek saya tidak meninggalkan banyak benda yang sifatnya personal untuk Ibu saya. Tetapi Ibu saya rela menjual satu dari yang sedikit itu untuk saya. Saya merasa sangat bersalah sekali. Untuk pertama kali nya saya menangis karena tidak menang. Saya merasa sudah sangat mengecewakan Ibu saya. Sampai sekarang itu menjadi salah satu penyesalah besar saya. Meskipun saya bisa membelikan sepuluh cincin seperti itu, tapi bagi Ibu saja tentu nilainya tidak sama.




Saya sudah tinggal jauh dari keluarga sejak lulus SMP. Meskipun saya jarang bertemu Ibu saya, namun kedekatan kami sama sekali tidak berkurang. Berbagai cara kami lakukan untuk ‘mengganti’momen yang hilang tersebut. Setiap hari kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk ngobrol di telepon. Kadang saya dan Ibu saya juga video call. Saya sangat menunggu-nunggu momen pulang ke rumah orang tua saya agar kami bisa quality time secara fisik. Setiap kali di rumah, saya selalu menyempatkan tidur berdua dengan Ibu saya.  Kalau sudah begitu, kami bisa ngobrol hingga larut malam. Selain itu saya juga suka sekali minta disuapkan sama Ibu saya. Bukan hanya sesuap dua suap melainkan sepiring dan tak jarang saya sampai nambah. Perlakuan seperti itu membuat saya merasa selalu masih kecil. Karena merasa dewasa terkadang membuat saya merasa semakin jauh dari keluarga.




Monday, February 6, 2017

How I do 'me time' ?

Berinteraksi secara intens dengan banyak orang, dikejar waktu dan berbagai agenda membuat saya lelah. Dalam kondisi lelah seperti itu, saya bisa berubah menjadi seseorang yang menyebalkan. Saya menjadi tidak sabaran serta sulit sekali untuk berpikir positif. Sehingga me time adalah suatu yang penting sekali buat saya. Agar saya tetap waras J

sumber

Saya termasuk orang yang suka dengan jadwal yang padat. Tetapi kan hidup butuh keseimbangan. Tujuannya ya tentu saja untuk memelihara kesehatan jiwa dan raga. Bagi saya me time adalah salah satu cara untuk mencapai keseimbangan tersebut. Definisi me time buat saya adalah ketika saya dapat mengistirahatkan sejenak pikiran saya. Dengan pikiran yang kembali tenang, tubuh pun terasa lebih segar.

Dulu jaman kuliah, jadwal kuliah saya sangat padat. Saya meninggalkan rumah pukul enam pagi dan kembali sekitar pukul delapan malam. Belum lagi kalau ada kegiatan lain sehabis kuliah, entah itu acara organisasi atau sekedar hang out dengan teman-teman. Kalau sudah begitu, saya bisa kembali ke rumah menjelang tengah malam. Saya sengaja melakukan semua kegiatan tadi di weekdays sehingga saya bisa mengambil weekend untuk me time.  Pada hari sabtunya saya akan di rumah saja seharian, bermalas-malasan. Saya sangat menikmati saat-saat seperti itu, satu hari tanpa jadwal. Saya makan dan mandi hanya ketika ingin. Biasanya saya menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku fiksi. Terkadang saya juga memasak sesuatu, hal yang sulit saya lakukan di hari lain. Sisanya saya menggambar dan melakukan hal lain yang sifatnya spontan.

Begitu lulus kuliah dan mulai bekerja, karena jadwal yang berubah maka pola ‘me time’ saya pun berubah. Kalau dulu saya mengambil satu hari khusus untuk me time, sekarang tidak lagi. Sebagai gantinya, saya mencicil me time ini setiap hari. Setiap bangun tidur dan menjelang tidur, saya meluangkan waktu sekitar 15-30 menit untuk me time. Dengan pola seperti ini, saya dapat memulai hari dengan pikiran yang tenang dan menutup hari dengan bahagia. Kegiatan seperti ini saya lakukan nonstop. Tujuh hari dalam seminggu.

Karena waktunya terbatas tentu pilihan kegiatannya pun tidak banyak. Aktivitas yang paling sering saya lakukan tentu saja ‘main hp’. Lalu apa yang saya lakukan bersama smartphone saya? Saya bermain game ringan. Selain itu saya juga ‘gentayangan’ di dunia maya. Situs yang saya kunjungi tidak jauh-jauh dari Female daily, Facebook dan tentu saja Google.







Saya juga ‘jalan-jalan’ ke blog-blog yang genre nya tidak jauh-jauh dari life style dan beauty. Tak ketinggalan untuk scrolling Instagram untuk melihat foto dan video tentang tingkah laku hewan.  Seperti banyak buku bilang, ketika membaca otak berkerja lebih keras dibanding nonton karena membaca juga melibatkan imajinasi. Sehingga di hari dimana saya sangat lelah,saya bahkan terlalu malas untuk berpikir. Maka saya beralih ke Youtube. Lagi-lagi untuk nonton video tentang tingkah laku hewan. Ini adalah salah satu video favorit saya. (sumber)




Meskipun me time saya sederhana dan terkesan mencuri-curi waktu, tapi aktivitas seperti ini ampuh untuk menjaga keseimbangan hidup saya. J

Sunday, February 5, 2017

Tebing Keraton



Masih dalam edisi jalan-jalan sebelum meninggalkan Bandung. Selain ke Curug Cimahi, saya dan Juli juga mengunjungi Tebing Keraton. Tidak seperti perjalanan ke Curug Cimahi yang memang direncanakan bahkan sempat searching dulu, perjalanan kali ini kami lakukan spontan saja. Jadi ceritanya siang itu saya tidak ada kegiatan dan mulai merasa bosan. Agar bosannya tidak berubah menjadi badmood, Juli pun mengajak saya jalan-jalan ke Tebing Keraton. Selain karena memang jaraknya dekat, saya juga belum pernah ke Tebing Keraton yang waktu itu lagi hits.

Kami berangkat setelah sebelumnya makan siang dulu di daerah Cisitu. Mengambil arah Dago atas melewati Taman Hutan Raya Juanda. Pemandangan sepanjang perjalanan didominasi dengan perkebunan penduduk dan hutan membentuk bukit dan lembah.



Waktu itu, jalan kesana tidak terlalu bagus. Di sepanjang jalan, beberapa kali saya melihat papan berisi peringatan untuk tidak mengunjungi Tebing Keraton terlalu sore. Selain jalan yang berbatu-batu dan berlubang di beberapa tempat, di kiri kanan jalan saya melihat tidak ada lampu penerangan jalan. Rute menuju Tebing Keraton via tahura memiliki beberapa tanjakan curam dan panjang. Motor Juli sempat tidak kuat menanjak dan saya pun memutuskan untuk turun. Bukan saya sendiri, memang banyak sekali pengunjung yang harus jalan kaki melewati tanjakan tersebut. Beberapa mobil pun terlihat kesulitan saat melalui tanjakan berbatu tersebut.
Meskipun hari itu matahari bersinar cukup terik, namun hawa Bandung yang cenderung dingin membuat saya dan Juli tidak terlalu merasa panas. Pemandangan Tebing Keraton terasa menyejukkan buat saya. Bukit yang menghijau mendominasi jauh mata memandang. Tampak juga pegunungan di kejauhan.




Di pinggiran tebing, terdapat pagar pembatas yang berarti tidak boleh menjangkau daerah lebih jauh daripada itu. Tetapi tetap saja ada pengunjung nakal yang melompati pagar untuk mengambil foto di atas bebatuan tebing. 

Foto ini diambil tepat di pagar batas. 

Melihat ke bawah, kita akan disuguhkan view berupa sawah dan ladang penduduk.


Saya dan Juli juga mengitari area lain dari Tebing Keraton. Tidak seperti di aera sebelumnya yang didominasi dengan tanah berpasir dan agak gersang, terdapat juga area yang ditutupi rumput dan ditumbuhi banyak pepohonan. Area ini sepertinya menjadi spot favorit pengunjung untuk beristirahat.

Setelah puas berjalan-jalan. Kami pun pulang setelah sebelumnya sholat Asar dulu di Mushola yang disediakan. 



Saturday, February 4, 2017

Curug Cimahi

Iseng buka folder lama di laptop, saya menemukan file berisi foto jalan-jalan ketika tinggal di Bandung dulu. Ceritanya waktu itu saya dan Juli sudah lulus kuliah. Karena memiliki banyak waktu luang dan merasa akan segera meninggalkan Bandung, saya dan Juli sengaja mencari tempat wisata yang belum sempat kami jelajahi selama empat tahun tinggal di Bandung. Googling sana sini, kami menemukan artikel berisi tempat wisata mainstream di Bandung dan sekitarnya. Kami pun memiliih Curug Cimahi sebagai tempat pertama yang akan kami kunjungi.

Berbekal GPS di smartphone, kami pun berangkat ke Curug Cimahi di suatu pagi agak gerimis. Rute yang kami pilih adalah melalui Jalan Sersan Bajuri, melewati Dusun Bambu dan Universitas Advent Indonesia. Kami sempat bablas agak jauh hingga ke jalan menuju perkampungan penduduk. Padahal, Curug Cimahi itu sangat mudah ditemukan. Gerbang masuknya berada di pinggir jalan besar dan tepat disebelahnya ada terminal angkot.

Curug Cimahi berada di lembah yang untuk mencapainya kami harus menuruni ratusan anak tangga. Memiliki hawa dingin seperti di daerah Lembang, membuat kami tidak begitu berkeringat meskipun tetap terasa pegal. Ketinggian curugnya sendiri mencapai puluhan meter. Airnya jatuh ke semacam kolam yang dikelilingi bebatuan besar. Khas daerah utara Bandung, air nya sangat dingin. Tetapi tetap saja ada pengunjung yang berenang di kolamnya.

Juli sedang bertapa di pinggir kolam.

Untuk mencapai kolam, kami harus melompati batu batu besar yang licin. Kami memutuskan untuk tidak terlalu dekat karena jujur saja kami takut terpeleset di antara bebatuan berlumut tadi. Oke saya akui saya memakai alas kaki yang salah hari itu. Sendal yang saya pakai licin sekali sehingga saya memilih untuk kaki ayam saja. Karena kurang hati-hati, sendal yang saya pegang terlepas dan hanyut terbawa aliran air menjauhi curug. Beruntung sendal saya tersangkut di antara dua batu besar sehingga masih bisa diambil lagi.

Jembatan ini untuk menyeberangi sungai kecil yang mengalir dari curug

Ketika sedang menuruni anak tangga untuk mencapai Curug Cimahi, saya sempat berpikir,”Turun aja gini, gimana naiknya.” Ternyata perjalanan naiknya nggak semenakutkan yang dibayangkan kok. Mungkin karena sudah pemanasan sebelumnya.
Perjalanan ditutup dengan melihat kawanan monyet yang sedang diberi makan. Saya melihat seorang bapak membawa banyak sekali buah-buahan hampir busuk dan membagikannya kepada kawanan monyet itu. Bagus juga idenya ya, daripada buah-buahan yang tidak terjual itu dibuang begitu saja lebih baik diberikan kepada hewan liar.
Ketika akan pulang, saya baru menyadari sesuatu.Bahwa di gerbangnya tertulis “Curug Pelangi?”. Mungkin lebih tenar dengan nama Curug Cimahi karena lokasinya di Cimahi. J

Pemandangan dari anak tangga yang jumlahnya ratusan itu,
Juli masih 'agak kurus'

































Friday, February 3, 2017

My (Bo)boy!!


Jadi di rumah orang tua saya di Riau, penghuninya ada lima. Kedua orang tua saya, dua adik  dan seekor kucing jantan yang sudah menjadi bagian keluarga kami sejak lama. Saya lupa kapan tepatnya Boboy dilahirkan. Seingat saya dia sudah ada dirumah sejak saya SMA. Boboy memang sudah turun temurun tinggal di rumah kami. Saya pun lupa Boboy ini generasi ke berapa yang tinggal bersama kami.

Kami menyayanginya selayaknya anggota keluarga. Meskipun Boboy paling dekat sama Ibu saya lalu kemudian adik saya, tetapi Boboy mampu mengenali seluruh orang dirumah dengan baik. Bahkan Boboy mampu mengenali suara saya di telepon. Jadi pernah suatu hari saya sedang telponan dengan Ibu saya dan ada Boboy berbaring disitu. Lalu saya panggil dia melalui telepon. Apa reaksi Boboy? Kata ibu saya Boboy langsung bangun dan noleh kea rah pintu. Mungkin dia pikir saya pulang.

Sore hari,biasanya orang tua dan adik-adik saya ngumpul di depan TV. Sekedar tidur-tiduran ataupun sambil berolahraga. Boboy hampir tidak pernah absen dari rutinitas itu. Boboy memang selalu begitu. Dimana ramai orang berkumpul dia pasti nimbrung, duduk dan ikut menyimak pembicaraan atau hanya sekedar bersantai.


Meskipun Boboy bukanlah kucing ras yang harganya mahal,tetapi kami tetap memperlakukan Boboy ‘istimewa’. Hanya kadang-kadang saja Boboy mau makan dry food. Selebihnya? Ibu saya memasakkan ikan khusus untuk Boboy. Tetapi Boboy juga tertarik lho makanan lain. Misalnya semangka, dadar telur dan bolu Meranti rasa keju. Hanya bolu Meranti, Boboy gak minat sama bolu 40rebuan.
Boboy kelonan sama adik saya

Karena kami adalah keluarganya, Boboy pun sangat suka kelonan terutama sama adik saya yang paling kecil. Jika tidur bersama adik saya, Boboy tidurnya bisa lama dan pulas sekali. Tapi kadang kalau sedang sendirian, Boboy tidur sambil peluk boneka.


Seperti halnya anggota keluarga, Boboy pun bisa kangen kalau lama tidak bertemu. Jika Ibu saya dinas ke luar kota yang agak lama, biasanya Boboy menunjukkan kangennya dengan tidur di rak baju Ibu saya di dalam lemari. Padahal normalnya Boboy tidak suka tidur di dalam lemari.

Ah saya jadi kangen Boboy, We love you Boy :) 

Boboy dan Ibu saya



Thursday, February 2, 2017

Semangat 2017

Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan kemarin, 2017  ini adalah tahun untuk mulai melangkah mewujudkan target-target jangka panjang saya. Saya sudah tidak boleh lagi tenggelam dalam kesibukan mencari zona nyaman untuk diri sendiri. Menurut saya kesibukan seperti itu mengalihkan fokus saya dalam menjalani hal lain.

Tahun 2017 saya awali di rumah orang tua saya di Riau. Saya memang mudik cukup lama kemarin dan baru kembali ke Jakarta pada pertengahan Januari 2017. Akhir pekan pertama di Jakarta saya habiskan bersama sahabat saya hampir sepuluh tahun belakangan. Jadi ceritanya, sahabat saya itu akan berangkat ke Australia pada bulan Februari  ini untuk melanjutkan pedidikan masternya. Maka kami pun sepakat untuk mengadakan jalan-jalan perpisahan. Karena kami berpikir ntah kapan kami akan bertemu lagi. Ketika dia kembali ke Jakarta nanti,belum tentu saya masih tinggal di Jakarta.

Awalnya saya berniat nyamperin dia di rumahnya di Jogja. Selain itu saya memang sudah lama sekali tidak keJogja. Namun ternyata kami tidak menemukan waktu yang cocok satu sama lain. Maka plan berikutnya adalah kami jalan-jalan di Bandung saja. Sekalian nostalgia masa-masa kuliah dimana kami tinggal bareng dari awal kuliah hingga lulus. Mendekati hari H, ada hal mendadak yang membuat rencana ke Bandung terpaksa dibatalkan.
Oke gak mau muluk-muluk lagi, kami memutuskan untuk jalan-jalan di Jakarta saja.

Awalnya saya bingung mau jalan-jalan kemana di Jakarta yang setidaknya memorable buat kami. Hingga sahabat saya itu bilang, “Kita ke monas aja yuk. Aku pengen naik ke puncak Monas sebelum berangkat ke Australi.” Ide bagus, karena saya pun belum pernah naik ke puncak Monas, padahal saya terbilang sering ke monas. Akhirnya kami sepakat ke Monas pada malam Minggu,karena katanya Monas hanya buka malam pada hari tertentu saja.

Kami sampai di Monas sebelum Maghrib. Setelah ngantri beli tiket kami pun masuk ke bagian yang ada diorama sejarah Indonesianya itu.  Setelah sholat Maghrib kami pun mulai ngantri lift untuk mencapai puncak monas. Saya lmerasa kami datang di waktu yang tepat,karena antriannya belum panjang sementara hari sudah gelap. Tidak sampai satu jam mengantri kami pun naik ke puncak monas. Kesan pertama begitu sampai di puncak monas, anginnya kencang sekali. Saya pun sempat mengambil beberapa foto menggunkan ponsel saya.


Setelah puas melihat-lihat Jakarta dari ketinggian, kami pun turun dan memutuskan beristirahat di cawan monas.Momen beristirahat ini merupakan momen yang paling saya tunggu-tunggu setiap kami bertemu. Saya dan sahabat saya itu memang partner ngobrol yang klop sekali. Seringkali topik yang kami biacarakan itu merupakan hal-hal spontan yang terlintas di pikiran. Meskipun begitu, selalu ada esensi yang bisa saya ambil dalam setiap obrolan random itu. Malam itu, kami sharing tentang target-target dan hal apa saja yang akan kami lakukan dalam beberapa tahun ke depan. Pelajaran yang dapat saya ambil dari obrolan malam itu adalah “Hidup ini butuh pencapaian.”

Hari semakin malam, kami pun memutuskan untuk makan malam di Sarinah, tentunya sambil melanjutkan pembicaraan di Monas tadi. Selesai makan waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan kami pun bergegas pulang agar tidak kehabisan Transjakarta. Saya dan sahabat saya naik Transjakarta ke arah Kampung Melayu. Saya turun duluan di halte Transjakarta Tegalan Gramedia, kami pun berpisah.

Sejujurnya saya hanya merasa sedikit sedih karena saya tidak akan bertemu sahabat saya dalam waktu lama. Sisanya saya merasa bahagia sekali. Saya merasa mendapatkan pencerahan yang begitu besar. Saya merasa sangat bersemangat.


Semangat 2017!! Bismillah J

Wednesday, February 1, 2017

Flashback 2016

Mumpung masih awal tahun, masih belum basi dong ya ngomongin tahun 2016 kemarin. Saya mau merangkum peristiwa besar yang berarti buat saya di tahun lalu. Hal-hal yang membawa perubahan besar dalam hidup saya.


Tahun 2016 diawali dengan  memulai hidup baru di lingkungan yang baru. Ya, awal tahun 2016 kemarin saya meninggalkan Bandung, kota yang saya tinggali selama kurang lebih 4,5 tahun belakangan. Sebetulnya pindah ke Jakarta sudah menjadi wacana sejak sekitaran Oktober 2015. Tetapi keputusannya baru diambil pada Desember 2015 tepat sebelum libur akhir tahun.  Pertengahan Januari 2016 saya pun memulai kehidupan baru di Jakarta.



Hidup baru buat saya karena memang banyak hal yang baru. Di Jakarta saya mulai membangun relasi baru, tinggal di lingkungan yang baru, melakukan hal-hal yang baru serta bertemu dengan banyak sekali orang baru. Di 2016 pula, saya resmi mulai menghidupi diri saya sendiri.

Perubahan yang begitu banyak dan sekaligus sempat membuat saya stress awal-awal dulu. Di satu sisi saya merasa capek tetapi di sisi lain saya merasa saya masih kurang sibuk. Saya merenungi, sebenarnya hal seperti apa yang saya inginkan. Kemudian saya menyimpulkan yang paling saya butuhkan adalah hidup yang seimbang. Dengan pembagian waktu yang pas, saya tidak akan merasa tertekan karena dikejar waktu, sehingga saya tau berapa waktu senggang yang saya punya dan dapat memilih kegiatan untuk mengisinya dengan tepat. Hal pertama yang saya lakukan adalah mengatur pola tidur saya. Somehow bangun terlalu siang membuat mood saya jadi kurang bagus.

Sekitar pertengahan tahun kemarin, saya menemukan, pola seperti ini lah titik nyaman saya, inilah jiwa saya yang sesungguhnya. Hal yang harus dilakukan berikutnya adalah membuat kenyamanan ini menjadi semakin produktif. Maka saya mulai menyusun target-target jangka panjang dan hal apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu.

Peristiwa-peristiwa tadi membawa perubahan besar terutama dalam pola pikir saya. Saya belajar mengambil hal positif dari apapun yang terjadi. Selain itu, memiliki target jangka panjang membuat saya menjadi lebih bersemangat.


Sekarang, di tahun 2017 saya sudah tidak lagi dipusingkan dengan menemukan zona nyaman, saya sudah bebas melangkah untuk mewujudkan cita-cita saya. :)